Ruko Rich Palace, jalan Mayjend Sungkono No 149 - 151 Surabaya

Human Trafficking, Pengertian Human Trafficking, Penanggulangan Human Trafficking

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Telegram

Isu perdagangan manusia atau trafficking khususnya perempuan dan anak beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton di berbagai media massa. Media massa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi juga lika- liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kasus- kasus perdagangan manusia yang cukup mendapat sorotan media beberapa waktu yang lalu misalnya kasus penjualan tujuh orang perempuan Cianjur yang diperdagangkan sebagai pekerja seks komersial (PSK) ke Pekanbaru, Riau yang berhasil diselamatkan oleh Polres Cianjur beberapa waktu yang lalu.  Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV dari Tekongnya di Malaysia. Dari kasus-kasus tersebut telah menguatkan bahwa trafficking merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak bagi seluruh komponen bangsa Indonesia. Karena hal ini mempengaruhi citra bangsa Indonesia itu sendiri dimata dunia internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak.

Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mengulas secara singkat mengenai apa itu perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak, bagaimana bentuk, tujuan dan pola perdagangan serta upaya penanggulangannya.

Pengertian Human Trafficking

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai:

Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafficking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara).

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa istilah trafficking merupakan:

  1. Pengertian trafficking dapat mencakup kegiatan pengiriman tenaga kerja, yaitu kegiatan memindahkan atau mengeluarkan seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya/keluarganya. Tetapi pengiriman tenaga kerja yang dimaksud tidak harus atau tidak selalu berarti pengiriman ke luar negeri.
  2. Meskipun trafficking dilakukan atas izin tenaga kerja yang bersangkutan, izin tersebut sama sekali tidak menjadi relevan (tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan trafficking tersebut) apabila terjadi penyalahgunaan atau korban berada dalam posisi tidak berdaya. Misalnya karena terjerat hutang, terdesak oleh kebutuhan ekonomi, dibuat percaya bahwa dirinya tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, ditipu, atau diperdaya.
  3. Tujuan trafficking adalah eksploitasi, terutama tenaga kerja (dengan menguras habis tenaga yang dipekerjakan) dan eksploitasi seksual (dengan memanfaatkan kemudaan, kemolekan tubuh, serta daya tarik seks yang dimiliki tenaga kerja yang yang bersangkutan dalam transaksi seks).

Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan perdagangan (trafficking):

Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali.

Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa istilah perdagangan (trafficking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  Rekrutmen dan transportasi manusia

  Diperuntukkan bekerja atau jasa/melayani

  Untuk kepentingan pihak yang memperdagangkan

B. Faktor Penyebab Human Trafficking

Tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking manusia di Indonesia. Trafficking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Termasuk ke dalamnya adalah :

·       Kemiskinan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002, kemiskinan telah mendorong anak-anak untuk tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja wanita yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan manusia.

·       Keinginan cepat kaya

Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.

·       Pengaruh sosial budaya

Disini misalnya, budaya pernikahan di usia muda yang sangat rentan terhadap perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial. Berdasarkan UU Perkawinan No.1/1974, perempuan Indonesia diizinkan untuk menikah pada usia 16 tahun atau lebih muda jika mendapat izin dari pengadilan. Meskipun begitu, dewasa ini pernikahan dini masih berlanjut dengan persentase 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun dan 21,5% sebelum mencapai usia 16 tahun. Tradisi budaya pernikahan dini menciptakan masalah sosio-ekonomi untuk pihak lelaki maupun perempuan dalam perkawinan tersebut. Tetapi implikasinya terutama terlihat jelas bagi gadis/perempuan. Masalah-masalah yang mungkin muncul bagi perempuan dan gadis yang melakukan pernikahan dini antara lain: Dampak buruk pada kesehatan (kehamilan prematur, penyebaran HIV/AIDS), pendidikan terhenti, kesempatan ekonomi terbatas, perkembangan pribadi terhambat dan tingkat perceraian yang tinggi.

Masing-masing isu diatas adalah masalah sosial yang berkenaan dengan kesejahteraan anak perempuan khususnya penting dalam hal kerentanan terhadap perdagangan. Hal ini dikarenakan:

1.    Perkembangan pribadi yang terhambat, membuat banyak gadis tidak mempunyai bekal keterampilan kerja yang cukup berkembang, sehingga mereka akan kesulitan untuk berunding mengenai kodisi dan kontrak kerja, atau untuk mencari bantuan jika mengalami kekerasan dan eksploitasi.

2.    Keterbatasan pendidikan, mereka sering rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan karena mereka umumnya tidak terlalu paham hak-haknya.

3.    Peluang ekonomi yang terbatas, mengingat terbatasnya pilihan ekonomi dan kekuatan tawar-menawar mereka, perempuan muda rentan terhadap pekerjaan yang eksploitatif dan perdagangan.

·       Kurangnya pencatatan kelahiran

Anak dan orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan akta kelahiran asli untuk memalsukan umur perempuan muda agar mereka dapat bekerja di luar negeri. Contoh, seperti yang dikemukakan dalam bagian Kalimantan Barat dari laporan ini (bagian VF), agen yang sah maupun gelap memakai kantor imigrasi di Entikong, Kalimantan Barat, untuk memproses paspor palsu bagi gadis-gadis di bawah umur.

·       Korupsi dan lemahnya penegakan hukum

Korupsi di Indonesia telah menjadi suatu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari, karena baik kalangan atas maupun bawah telah melakukan praktik korupsi ini. Karena itulah, korupsi memainkan peran integral dalam memfasilitasi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, disamping dalam menghalangi penyelidikan dan penuntutan kasus perdagangan. Mulai dari biaya illegal dan pemalsuan dokumen. Dampak korupsi ini terhadap buruh migran perempuan dan anak harus dipelajari dari umur mereka yang masih muda dan lugu, yang tidak tahu bagaimana cara menjaga diri di kota-kota besar karena mereka tidak terbiasa dan sering malu untuk mencari bantuan. Tidak peduli berapa usia dan selugu apa pun mereka, mereka yang berimigrasi dengan dokumen palsu takut status illegal mereka akan membuat mereka jatuh ke dalam kesulitan lebih jauh dengan pihak berwenang atau dapat dideportasi. Pelaku perdagangan memanfaatkan ketakutan ini, untuk terus mengeksploitasi para perempuan dan proyek. Masalah lain yaitu lemahnya hukum di Indonesia.

Untuk penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus perdagangan, sistem hukum Indonesia sampai sekarang masih lemah, lamban dan mahal. Sangat sedikit transparansi, sehingga hanya sedikit korban yang mempercayakan kepentingan mereka kepada sistem tersebut. Perilaku kriminal memiliki sumber daya dan koneksi untuk memanfaatkan sistem tersebut. Akibatnya, banyak korban perdagangan yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses hukum. Hal ini mengakibatkan praktik pedagangan/trafficking semakin meningkat dan masih berlangsung.

·       Media massa

Media massa masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dan kejahatan susila lainnya.

·       Pendidikan minim dan tingkat buta huruf

Survei sosial-ekonomi nasional tahun 2000 melaporkan bahwa 34% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat SD dan hanya 155 yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun 2000 terdapat 14% anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan. Orang dengan pendidikan yang terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan ekonomi. Dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan kepercayaan diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan kondisi kerja mereka. Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika mereka kesulitan saat berimigrasi atau mencari pekerjaan. Mereka akan kesulitan bagaimana mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur iklan layanan masyarakat lain mengenai rumah singgah atau nomor telepon yang bisa dihubungi untuk mendapatkan bantuan. Seorang yang rendah melek huruf sering kali secara lisan dijanjikan akan mendapat jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang mereka tanda tangani (yang mungkin tidak dapat mereka baca) mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh berbeda, mengarah ke eksploitasi.

Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak :

·       Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia

·       Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia

·       Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia

·       Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri

·       Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri

·       Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia

·       Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia

Sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan perempuan antara lain:

·       Anak-anak jalanan

·       Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih

·       Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi

·       Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan

·       Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan anatar negara

·       Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang

·       Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan

Undang-Undang tentang Trafficking

Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :

·       Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-298; Pasal 506

·       UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW; pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)

·       UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi  ILO No. 138 tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)

·       UU RI No. 1/2000 (ratifikasi  konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan  Terburuk untuk Anak)

·       UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi Diskriminasi Rasial)

·       Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)

Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum.

Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.

Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah :

1.    Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,

2.    Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,

3.    Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,

4.    Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,

5.    Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.

F. Hambatan Pemberantasan Trafficking

Upaya penanggulangan perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain:

Budaya masyarakat (culture)

Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di masyarkat tersebut  masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban perdagangan perempuan dan anak.

Kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance)

Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai  RAN penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.

Aparat penegak hukum (legal structure) 

Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dalam penanganan perdagangan perempuan dan anak ini, diharapkan keterlibatan berbagai pihak di dalamnya mulai dari pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, kalangan akademisi,  kelompok masyarakat, individu untuk dapat membantu korban perdagangan perempuan dan anak maupun untuk memberikan dukungan dan tekanan terhadap pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak melindungi korban dan menjerat pelaku perdagangan.

B.  Saran

Yang dapat Anda lakukan jika Anda, Saudara atau teman Anda menjadi korban perdagangan (trafficking) Berikan dukungan secara penuh, dan:

1.    Kumpulkan bukti-bukti dengan mencatat tanggal, tempat kejadian serta ciri-ciri pelaku,

2.    Pilih orang yang dapat dipercaya, keluarga  untuk menceritakan permasalahan yang terjadi. Minta tolong untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib,

3.    Laporkan segera kepada aparat kepolisian terdekat,

4.    Minta bantuan/pendampingan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH),

5.    Konsultasikan  kepada  lembaga-lembaga yang menangani masalah perempuan yaitu organisasi perempuan, organisasi masyarakat yang memahami pola perdagangan (trafficking).