Ruko Rich Palace, jalan Mayjend Sungkono No 149 - 151 Surabaya

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Telegram

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah public. Undang-Undang ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga. Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, keperdulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.


UUPKDRT
, mendefinisikan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga., meliputi :

  1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian. Contohnya, dipukul, ditendang, dicekik, diseret, disiran air panas, disetrika, dibakar, digorok, dsb.
  • Kekerasan psikis atau emosional adalah setiap perbuatan atau ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya, pada seseorang. Contoh kekerasan psikis adalah menghina, merendahkan, menyebut istri dengan sebutan “balon”, perek, diteror, selingkuh, poligami, melarang bergaul (isolasi), diancam cerai, dsb.
  • Kekerasan sesksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Misalnya, perkosaan ayah terhadap anak kandung (incest), paman terhadap keponakan, memaksa istri melacurkan diri, memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan orang lain, marital rape, melukai alat kelamin, melakukan pencabulan, dsb.
  • Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau diluar rumah; yang menghaslkan uang, barang dan atau jasa; dan atau membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga. Contonya, memaksa anak bekerja, istri dipaksa bekerja tapi hasilnya dikuasai suami, diperas, perempuan/istri dilarang bekerja, dibatasi pengeluaran keuangannyas secara berlebihan, tidak diberi nafkah, dipaksa bayar hutang, dsb.

Pada kasus-kasus KDRT seringkali korban tidak hanya mengalami satu jenis kekerasan saja  melainkan mengalami berbagai jenis kekerasan secara bersamaan. Misalnya saja kasus beberapa kasus yang saya tangani, dimana suami melakukan marital rape (kekerasan seksual/perkosaan dalam pernikahan), juga melakukan kekerasan fisik dengan memmukul, menendang , menampar, mencekik dan sebangsanya. Masih ditambah pula dengan menyebut istri sebagai perek, balon, sepa, menghina, meludahi sampai juga dengan tidak memberikan nafkah ekonomi pada istrinya.

Dalam tiga bulan terakhir ini berita televisi ramai  memberitakan  tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga, meninggalnya istri akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, atau istri  disetrika suaminya karena dianggap berselingkuh. Padahal justru si suamilah yang konon dicurigai warga berselingkuh. Kasus Ny Lina, atau kasus istri yang dipukuli suaminya sampai bayinya terlahir, dan selama pernikahan sering dihajar/dipukuli suami juga perkara tewasnya 5 anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak mereka, lantaran rumah mereka terbakar. Ada indikasi kuat rumah tersebut sengaja dibakar si suami karena menuduh istrinya selingkuh.

Belum lagi kasus yang menimpa babby sitter dan pekerja rumah tangga (PRT), misalnya Ratih, Sulimah, Yenny, dll.  Pada akhir tahun lalu bahkan seorang PRT tewas setelah mengalami penganiayaan dari majikannya hanya gara-gara dituduh memakan beberapa biji rambutan di dalam kulkas. Kasus kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh keluarganya sendiri juga sangat memprihatinkan. Kisah Noti, 5 tahun yang dianiaya ayah dan ibu kandungnya hingga hampir lumpuh dan menderita luka bakar. Kemudian kasus-kasus perkosaan ayah kandung terhadap anaknya hingga hamil. Dan baru beberapa waktu lalu seorang anak dilaporkan minggat dari rumahnya karena tidak tahan lagi perlakuan kasar ayahnya terhadap dirinya. Itu adalah beberapa catatan tentang kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga “normal” atau yang dibangun atas dasar orientasi seksual heterogen. Pada pola relasi rumah tangga yang dibangun atas dasar orientasi seksual homogen (homo, lesbian) juga tak luput dari adanya tindak kekerasan ini. Misalnya kasus Karlina, yang mendapatkan kekerasan seksual dari pasangan lesbinya dibawah ancaman dan tekanan. Kasus-kasus di atas baru dilihat dari akibat fisik yang tampak nyata. Namun akibat psikis dan ekonomi sebagai akibat KDRT belum diungkap. Dari berbagai kasus di media massa banyak terjadi usaha percobaan bunuh diri dari korban KDRT lantaran tak lagi bisa menahan penderitaannya.

Kematian korban adalah puncak penderitaan yang dialami akibat penganiayaan suami atau pasangannya yang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Artinya bahwa kematian tersebut bukanlah peristiwa yang tunggal dan disebabkan oleh persoalan insidentil semata. Faktor penyebab kematian korban yang ditulis koran-koran seperti cemburu, suami minta uang tidak diberi, suami kalah judi, istri meminta jatah uang bulanan,  istri memelihara ternak ayam, istri tidak mau rujuk, poligami, dsb. hanya sebagai pemicu saja. Namun akar persoalan sesungguhnya tidak sekedar itu. Akar persoalan sesungguhnya adalah adanya kekerasan terhadap perempuan berbasis gender yang merupakan implikasi dari keyakinan ideologi patriarkhis yang dipahami masyarakat.

Siapa Korban KDRT

Korban KDRT adalah seseorang yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Jika melihat definisi rumah tangga seperti yang dipaparkan diatas, maka korban KDRT bisa disimpulkan siapa saja yang terlibat dalam pola hubungan di dalam lingkup rumah tangga tersebut. Dia bisa jadi adalah istri, anak, ibu, kakak, adik, suami, bapak, kakek, nenek, anak kos, PRT, pacar, pasangan gay/lesbi, dan sebagainya. Namun demikian dalam kontek kekerasan terhadap perempuan kita hanya akan memfokuskan pada korban yang berjenis kelamin perempuan. Dalam masyarakat kita yang masuk dalam kategori ini adalah istri atau pasangan dan anak-anak perempuan.

Apabila melihat dari kasus KDRT yang saya tangani, lebih banyak menimpa pada istri/ anaknya, 50 persen memilih untuk bertahan karena alasan anaknya/ketergantunagn ekonomi dan 50 % memilih mengakhiri dengan mengajukan gugatan cerai dan melaporkan KDRT yang dilaminya ke POLRES atau POLDA.

Siapa Pelaku KDRT

Pelaku KDRT adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Siapapun yang berada dalam lingkup rumah tangga sangat berpotensi sebagai pelaku kekerasan, baik itu suami, bapak, kakak, istri, anak, paman, PRT, sopir, dan sebagainya. Dalam lingkup KDRT pelaku juga bisa disebutkan negara. Negara melalui kebijakannya selama ini terlalu banyak melakukan intervensi kepada rumah tangga. Kita bisa simak isi UU Perkawinan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik yang pada akhirnya menjadi penyebab munculnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Program KB juga merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan negara di wilayah domestik atau rumah tangga.

Sekalipun perempuan dapat menjadi pelaku kekerasan, namun kita masih harus melakukan telaah secara mendalam lagi tentang kompleksitas persoalan perempuan yang acapkali melatarbelakangi tindakan kekerasan yang dilakukan perempuan. Dalam kesempatan kali ini kita akan lebih banyak mengelaborasi kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kontek KDRT. Karena ini merupakan kasus-kasus yang sangat umum dan paling banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Saking umum dan banyaknya, sehingga sebagian besar masyarakat kita menganggapnya bukan lagi persoalan bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sangat wajar atau normal.

Selama ini masyarakat menganggap pelaku adalah orang yang kurang berpendidikan, sedang mabuk, pengangguran, dan dari golongan miskin. Namun fakta berbicara lain, pelaku justru dari kalangan terdidik dan mempunyai kedudukan terhormat di lingkungan kerjanya, misalnya manager sebuah hotel, kepala bagian sebuah instansi, dosen, doktor, direktur sebuah perusahaan rokok dan pejabat negara. Jadi pelaku bisa berasal dari segala lapisan masyarakat, dari ras, suku dan agama apapun.

Pada umumnya pelaku KDRT kerap menunjukkan karakteristik seperti :

  1. Rendahnya penghargaan atas dirinya sendiri
  2. Mempercayai mitos sebagai pihak yang memiliki kekuasaan terhadap perempuan dan superioritas laki-laki
  3. Kecemburuan yang berlebihan dan tidak terbukti
  4. Menggunakan istri/pasangan sebagai pelampiasan persoalan
  5. Mengalami kekrasan di masa kecilnya
  6. Sering menyalahkan orang lain

Mengapa KDRT terjadi

Berdasarkan pengalaman menangani perkara KDRT, pada umumnya korban datang melaporkan kasusnya ketika sudah mengalami kekerasan itu sekian lama, bahkan bertahun-tahun. Bahkan setelah 20 tahun menikah, baru korban berani melaporkan keadaan yang dialaminya. Seringkali kita berpikir bahwa hal ini sangat aneh dan tidak mungkin terjadi. Namun pada kenyataannya demikianlah realita di dalam masyarakat kita. Pertanyaan kita kemudian adalah mengapa perempuan bertahan dalam kondisi demikian? Apabila kita tidak arif dalam menelaah masalah ini, kita akan dengan segera mengatakan “salah perempuan sendiri mengapa mau hidup dalam kekerasan?”.

Perempuan selama ini hidup dalam kompleksitas persoalan yang melilitnya. Itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa mereka “bertahan” dalam penganiayaan pasangannya. Secara kultural perempuan ditempatkan sebagai makhluk yang subordinat terhadap laki-laki yang didukung pula oleh tafsir atas nilai-nilai agama. Anggapan yang sangat diyakini oleh masyarakat ini mengkristal dalam pola hubungan perempuan-laki-laki yang lebih didasarkan pada konsep kekuasaan. Perempuan dalam hal ini sangat diyakini sebagai makhluk yang berada dalam kekuasaan laki-laki. Sehingga laki-laki merasa berhak untuk mengatur perempuan, yang salah satunya dan seringkali terjadi adalah dengan kekerasan. Kekerasan dipergunakan sebagai alat kontrol laki-laki untuk mengukuhkan kekuasaannya terhadap perempuan. Pola relasi yang demikian dilestarikan dan disosialisasikan oleh masyarakat kita dalam mendidik anak-anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki selalu diajarkan untuk tumbuh menjadi kuat secara fisik dan psikis. Mereka didorong untuk menajdi kuat dan berani. Semuanya mutlak dilakukan untuk menunjukkan kejantanannya. Demikian pula teradap perempuan, laki-laki diposisikan untuk bisa mengendalikan perempuan atau mengalahkan. Masyarakat akan sangat mafhum apabila laki-laki dapat mengalahkan perempuan. Dalam kehidupan rumah tangga keyakinan tersebut juga dipahami sebagai sebuah pembenaran ketika terjadi kekerasan suami atas istri.

Laki-laki yang diposisikan sebagai kepala rumah tangga membuka peluang yang sangat jelas atas terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga yang mengatasnamakan fungsi mendidik atau mengendalikan rumah tangganya. Kita juga diyakinkan oleh nila-nilai yang menyatakan bahwa rumah tangga adalah sebuah privacy yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak luar. Persoalan dalam rumah tangga seseorang menjadi tanggungjawab masing-masing, meskipun di dalamnya terjadi kekerasan. Banyak kasus menunjukkan hal tersebut, contohnya KDRT yang di alami Bu Utami, 40 Tahun, yang dilakukan oleh suaminya***)

Saat itu suami saya datang dan mengambil anak saya yang masih 8 bulan.  Katanya mau dibawa ke mertua di Bali karena saya dianggap tidak becus mengurus anak. Kemudian suami membawa anak saya ke dalam mobil. Saya mengejar dan berusaha merebut anak saya kembali. Suami mendorong saya dan menutup mobil. Saya coba menghalangi dengan berdiri di depan mobil dengan harapan suami tidak menjalankan mobil. Tapi ternyata suami nekat menghidupkan mesin menjalankan mobil ke arah saya dan mau menabrak saya. Jika saya tidak menghindar, mungkin sudah mati. Ada tetangga saya yang tahu kejadian itu, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Katanya takut, itu kan urusan rumah tangga saya

Kejadian ini dilihat oleh tetangga sekitar. Namun tak seorang pun yang berani melerai hal itu. Hanya setelah suami berhasil kabur membawa mobil dengan bayi didalamnya, dan si ibu terjerembab di jalan, para teteangga datang untuk menolong.

Malu! Adalah faktor lain yang harus ditanggung korban dan menjadi penyebab lestarinya KDRT. Korban yang meminta tolong orang lain untuk menolong juatru dianggap telah membukakan aib rumah tangganya ke luar. Maka bukan pertolongan yang dia dapatkan kemudian, namun justru cap dan cacian dari masyarakat bahwa dia adalah istri atau perempuan yang tidak bisa menyimpan rahasia keluarganya sendiri. Sinthia/40 Tahun seorang konsultan manajemen menjadi korban kekerasan dari suami selama 13 tahun menuturkan:

Saya ingin cerai karena sudah nggak tahan dengan perilaku suami saya yang kasar dan merendahkan saya. Tapi saya tidak mau diketahui orang lain karena malu dan nanti dicap tidak bisa menyimpan aib keluarga. Nanti saya dikira telah menghambat karir suami kalau kasus saya ini diketahui orang.

Karena alasan itu pulalah, perempuan yang berdomisili di luar kota Surabaya ini meminta  untuk membantu proses perceraian di Surabaya. Konsep familiarisme menganggap seolah-olah ibu (istri) sebagai orang yang harus bertanggungjawab terhadap keluarga, kesejahteraan keluarga, nama baik keluarga, bagaimana keluarga berjalan dengan baik, mengasuh anak, melayani suami, dsb. Konep familiarisme ini membentuk keyakinan bahwa siapapun yang berkeluarga harus mengutamakan keluarganya. Demikian pula perempuan diposisikan untuk lebih mengutamakan keluarga daripada

kepentingannya sendiri, sekalipun keluarga itu telah membunuh mentalnya bahkan mengancam jiwanya. Itulah sebabnya mengapa perempuan dapat bertahan berada dalam kekerasan di dalam keluarganya. Simak penurturan  Winda, 22th, korban kekerasan seksual ayah tiri :

Saya sekarang diusir ibu karena dianggap membual tentang perilaku ayah. Saya dicabuli ayah sejak umur 11 tahun dan diancam tidak boleh bilang ke ibu karena ibu punya sakit. Kalau saya cerita nanti bikin ibu sakit, maka sayalah yang salah. Saat umur 19 tahun saya cerita ke ibu tentang kelakuan ayah karena saya sudah nggak kuat. Tapi ibu tidak percaya dan malah memarahi saya, dianggap membual dan membuat aib keluarga. Ibu mengusir saya. Saya ditampung keluarga Pakdhe. Tapi kemudian juga diusir karena pengakuan saya dianggap telah mencoreng nama baik keluarga besar. Sekarang saya tinggal di rumah pacar saya dan kuliah dibiayai oleh keluarganya.

Perempuan korban KDRT selama ini juga dilenakan dengan siklus kekerasan yang dialaminya. Dari pengalaman menangani kasus-kasus KDRT semua perempuan korban KDRT mengalami siklus ini secara emosional. Siklus kekerasan tersebut adalah :

  1. Tension Building (tahap ketegangan)

Pada tahap ini mulai muncul ketegangan. Pelaku mulai melakukan insiden kecil, dimulai dengan perilaku verbal yang menghina, memaki, mengancam. Korban dalam tahap ini biasanya berusaha menenangkan pelaku yang dianggap efektif. Ketegangan makin meningkat. Korban mulai merasa tak bisa menguasai suami. Korban mulai menarik diri dari lingkungan

  •  Acute Battering Incident (penganiayaan)

Pada tahap ini pelaku mulai melakukan penganiayaan secara fisik, memukul, menampar, dan bahkan semakin agresif. Pelaku mulai merasa “harus memberi pelajaran” kepada korban. Pada tahap ini korban berusaha diam karena jika melawan takut pelaku akan semakin kalap. Di sisi lain ada keyakinan pada diri korban bahwa pelaku sedang khilaf, dan tidak mempercayai bahwa pelaku benar-benar bermaksud menganiaya dirinya.

  • Honeymoon (bulan madu)

Pada tahap ini setelah melakukan penganiayaan, kadang pelaku merasa telah bertindak berlebihan. Kemudian pelaku menyatakan penyesalan, meyakinkan korban bahwa dia khilaf dan tidak benar-benar bermaksud melakukan penganiayaan tersebut. Pelaku meminta maaf bahkan dengan mencium kaki korban, kemudian berjanji tidak melakukan lagi. Pada tahap ini pula pelaku mencoba mengingatkan hal-hal indah yang mereka lewati. Korban meyakinkan dirinya bahwa suaminya benar-benar menyesal dan tak akn melakukannya lagi. Korban menjadi yakin bahwa sebenarnya suaminya orang yang baik. Bahkan korban mulai berpikiran perilaku suaminya mungkin karena kesalahannya juga. Pelaku dan korban kembali menjadi baik, bahkan sangat baik.

Setelah melewati masa bulan madu, kembali mulai ada ketegangan antara korban dan pelaku. Hubungan mereka kembali memasuki tahap pertama siklus kekerasan. Demikian seterusnya ke tahap-tahap berikutnya secara terus menerus dan tidak terputus bahkan intensitasnya semakin tinggi.

Simak saja penuturan Dewi, 27tahun :   korban yang datang ke saya beberapa bulan lalu : Dulu dia tak pernah memukul, paling hanya marah-marah. Tapi sekarang hanya gara-gara saya membelikan baju baru untuknya saja dia malah tersinggung, memukul, menjambak rambut saya, menendang, menyeret saya ke rel kereta api di depan rumah dan pernah saya dibenturkan ditembok dan pedang samurainya sudah menempel dileher saya. Pikir saya waktu itu, wah sudah matilah saya.

Perempuan (korban) pada umumnya sangat susah untuk bisa keluar dari siklus kekerasan ini. Siklus ini justru mengurung perempuan dalam penyesalan diri, merasa bersalah, merasa tidak sempurna, merasa kurang, merasa sudah nasib, dsb. Karenanya dia ingin memperbaikinya dengan terus bertahan dalam lingkaran itu. Ada keyakinan bahwa suaminya pasti akan berubah suatu saat nanti. Sekarang masih khilaf. Sebagai perempuan korban merasa berkewajban harus bisa meluruskan kembali suaminya. Ini juga dituturkan Riana, 28 th yang beberapa bulan tidak dinafkahi oleh suami, dilarang bekerja, dan diselingkuhi suami

Saya tak mau cerai karena saya harus mendapatkan nafkah untuk dua anak saya. Saya sudah datangi dia di apartemen tempatnya tinggal dengan WIL-nya untuk membicarakan masalah ini. Tapi dia malah mengancam saya cerai dan memaksa saya menandatangani persetujuan cerai. Saya yakin dia saat ini sedang khilaf, dan sedang dalam pengaruh black magic WIL-nya itu. Saya sendiri mungkin selama ini terlalu cerewet, sehingga suami meninggalkan saya dan anak-anak. Saya sudah shalat dan berdoa agar suami saya bisa kembali seperti dulu. Saya yakin suatu saat nanti dia pasti akan sadar dan kembali epada saya lagi.

Hal yang harus dilakukan adalah memutus lingkaran atau siklus kekerasan. Dan hal ini justru yang sangat sulit dilakukan oleh perempuan. Kenapa? Ada beberapa hal yang mempengaruhi:

  1. Takut pembalasan. Banyak perempuan diancam pasangannya akan mendapatkan perlakuan lebih kejam bahkan ancaman pembunuhan apabila berani memutuskan perkawinan. Ani, 31 th yang 7 tahun mengalami kekerasan fisik dan psikis dari suaminya menuturkan kisahnya :

Saya tidak berani melaporkan kepada siapa-siapa karena diancam akan dihabisi oleh suami. Bahkan suami juga mengancam serupa terhadap keluarga saya jika saya melaporkan ke polisi atau mengajukan perceraian. Suami saya selalu menteror saya baik itu kampus, di tempat kerja, dan di kampung. Saya diancam jika berani menggugat cerai, jika ketemu akan disekap dan diguyur wajah saya ini dengan air raksa.

Juga dituturkan oleh Effy, 30 th:

Saya takut, suami kalau marah seperti kesetanan sambil melotot. Pernah sampai mata saya loncer berdarah kena tinjunya. Anak saya kalau mendengar suaranya saja sampai terkencing-kencing dan gemetar. Saya selalu diancam mau ditembak dan dimasukkan penjara. Di bawah kasur tempat tidur kami itu dia simpan parang dan pisau rambo. Dia selalu mengancam akan menggunakan itu kalau saya berbuat macam-macam.

  • Ketergantungan secara ekonomi. Banyak korban yang tidak punya pilihan lain karena ketergantungan ekonomi pada suami. Berikut penuturan Narti, 28 th yang saat itu hamil 8,5 bulan:

Suami pertama saya juga suka memukul. Saya minta cerai karena dia kawin lagi. Suami saya sekarang ini sama saja. Saya hamil tua begini pernah dijongkrokke (didorong) ke tembok lalu badan saya diangkat, leher saya dikalungi tali rafia. Saya diam saja karena takut dia tambah kalap. Saya tak berani cerai karena kondisi begini, hamil dan tidak kerja. Saya kasarannya masih ikut dia karena dia yang memberi makan saya.

  • Demi anak. Anak merupakan alasan yang paling mengemuka ketika korban dicoba diajak bicara tentang kemungkinan mengakhiri kekerasan suami dengan mengakhiri perkawinan. Korban selain secara eknomi merasa tak mampu menanggung beban hidup anak-anak juga ada kekhawatiran anak akan mengalami penderitaan jika tidak bersama ayahnya

Seringkali anak-anak juga dijadikan tameng suami dalam melakukan kekerasan. Kanti, 33th menceritakan kisahnya pada saya:

Suami saya aneh, sering histeris kalau marah baik di rumah maupun di tempat umum. Saya sudah tidak kuat Saya minta cerai tapi dia bilang kalau saya berani minta cerai atau gugat cerai maka dia akan bunuh diri bersama anak-anak.

  • Stigma sosial. Korban merasa takut diketahui masyarakat bahwa dia adalah korban penganiayaan suami. Stigma sebagai janda juga sangat mengganggu perempuan.

Isolasi sosial. Dalam siklus kekerasan sebenarnya pelaku juga mencoba menjauhkan korban dari hubungan dan dukungan sosial. Sehingga korban merasa tidak ada tempat untuk meminta bantuan. Karenanya korban akan menarik diri dari pergaulan. Pelaku menanamkan pada korban bahwa hanya dialah yang tahu tentang korban. Sehingga korban akan selalu menurut pada pelaku.

  • Rasa percaya diri rendah. Akibat kekerasan yang dialami bertahun-tahun dapat membuat perempuan korban KDRT merasa tidak berarti, tidak percaya pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan. Mereka juga merasa bahwa justru merekalah yang menyebabkan kekerasan itu terjadi
  • Sikap masyarakat. Masyarakat dalam hal ini tidak mampu memandang persoalan KDRT dari perspektif korban. Acapkali perempuan korban KDRT yang datang meminta pertolongan atau nasihat dari masyarakat disarankan untuk kembali kepada keluarga dan suami, karena di situlah tempat dia yang paling mulia..
  • Perasaan cinta. Banyak korban KDRT yang merasa sangat mencintai suaminya dan merasa kasihan pada suaminya bila dia harus meninggalkannya. Mereka terus mengharapkan suaminya bisa berubah dan bisa menghentikan kekerasan.

YANG HARUS DILAKUKAN JIKA ANDA MENGALAMI KDRT :

  • Hubungi saya sebagai Pengacara yang beroihak pada korban KDRT untuk memberikan support dan mendampingi secara hukum jika anda ingin melaporkan ke Polisi ataupun menggugat cerai dan tetap mendapatkan hak-hak anda, atau
  • Lapor ke polisi terdekat segera mungkin. Kesegeraan penting untuk mengamankan bukti-bukti terjadinya kekerasan yang mutlak diperlukan dalam proses hukum
  • Memberikan dukungan kepada korban dan tidak menyalahkannya
  • Mendorong korban untuk segera mendapatkan bantuan baik secara medis, maupun psikologis
  • Menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan layanan bagi peempuan korban kekerasan terdekat