Ruko Rich Palace, jalan Mayjend Sungkono No 149 - 151 Surabaya

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Telegram

Menikah Sah secara Agama dan Hukum, Pencatatan Nikah bagi yang pernikahannya belum tercatat, Dispensasi Nikah/bagi calon pernikahan yang belum berusia 21 Tahun, Permohonan Poligami di Pengadilan Agama/Muslim

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan tentang pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan bertujuan  untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut tentunya perkawinan harus melalaui prosedur dan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu : perkawinan sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Perkawinan yang sah akan memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum orang yang melangsungkan perkawinan akan terlindungi.

Perkawinan sah menurut hukum apabila perkawinan tersebut dilaksanakan menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu : – Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. – Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, – Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. – Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil – Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut mengatur secara rinci mengenai syarat-syarat sahnya perkawinan, pencatatan perkawinan, keabsahan perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, akibat hukum perkawinan, putusnya perkawinan dan akibat putusnya perkawinan.

Pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya, sesungguhnya perkawinan bukan hanya kebutuhan lahiriah dan kebutuhan rohani (bathin). Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.. Ikatan ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain maupun masyarakat. Apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan secara formal yaitu dengan dilaksanakannya akad nikah menurut agama Isalam dan tata cara yang lain menurut agama selain Islam, hal ini membuktikan telah terjadi ikatan lahir dari pasangan suami isteri tersebut. Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri.dalam tahap permulaan ikatan bathin ini ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan.  Pada dasarnya perkawinan itu dilaksanakan atas dasar suka rela dari kedua calon mempelai, dan perkawinan tidak sah apabila dilakukan dengan terpaksa atau ada tekanan dari salah satu calon mempelai atau dari pihak lain (kawin paksa) karena apabila perkawinan yang demikian dilaksanakan,  maka tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal tidak mungkin dapat diwujudkan. Sebelum akad nikah (bagi yang beragama Islam) petugas pencatat nikah (naib/penghulu) selalu menanyakan kepada kedua calon mempelai, apakah dalam perkawinan yang akan dilaksanakan ada paksaan dari pihak lain atau tidak (yang non muslim juga dilakukan hal yang sama yaitu di tanyakan apakah sukarela ingin menikah pada pasangan tersebut oleh Pemuka agamanya )..Hal tersebut untuk memastikan bahwa perkawinan tersebut dilaksanakan atas dasar keikhlasan (suka rela) oleh kedua calon mempelai.

Selanjutnya, dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.3 Oleh karena perkawinan tersebut harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yang telah penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1) mempertegas mengenai sahnya perkawinan.yaitu :

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 tersebut secara tegas dinyatakan. (untuk muslim di KUA dan untuk Non Muslim di Catatan Sipil).

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan perkawinan berbeda agama antara kedua calon mempelai. Karena bagi orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar syariat agama Islam, begitu juga sebaliknya bagi agama Kristen juga tidak sah apabila dilakukan tidak sesuai dengan ajaran agama. Kristen, Hindu, Budha, Konghchu (Khusus penganut Katolik, memperbolehkan pernikahan beda agama/dispensasi nikah ).

Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat banyak perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) yang hanya memenuhi tuntutan agama saja berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Sedangkan, tuntutan administratif berdasarkan Pasal 2 ayat (2) tidak dipenuhi karena perkawinannya tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[1] Lantas, apakah suatu perkawinan harus dicatat agar menjadi sah?

Pada dasarnya, pencatatan yang dilakukan atas suatu perkawinan tidak menjadi syarat sah suatu perkawinan, sehingga tidak memengaruhi keabsahan status suami dan istri. Hal ini didukung dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Adapun materi pokok dalam putusan tersebut berisi pembahasan untuk membuktikan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengenai hubungan perdata anak di luar perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) sepanjang diartikan menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki, yaitu dalam hal ini seorang ayah. Selanjutnya, dalam Putusan MK tersebut dikatakan juga bahwa pencatatan hanya menjadi kewajiban administratif yang membuktikan terjadinya suatu perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, putusan tersebut menegaskan bahwa makna pentingnya kewajiban administratif yang dimaksud adalah agar negara dapat memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. Akan tetapi, perkawinan yang tidak dicatat dapat menimbulkan beberapa akibat hukum yang meliputi konsekuensi yuridis terhadap akibat-akibat perkawinan seperti hak-hak keperdataan, kewajiban pemberian nafkah dan hak waris. Hal ini dikarenakan pencatatan perkawinan menjadi syarat formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan konsekuensi yuridis baik dalam hak-hak keperdataan maupun kewajiban nafkah dan hak waris. Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan hanya merupakan suatu bukti otentik yang melindungi hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan. Maka dari itu, walaupun pencatatan bukan merupakan syarat sah, perkawinan yang tidak dicatat dapat membawa konsekuensi terhadap akibat-akibat hukum yang muncul dari suatu perkawinan.

NB  :  Bagi Pasangan suami istri yang hanya melakukan pernikahan  secara Agama saja dan ingin mendaftarkan pernikahannyaa secara hukum dapat mengajukan permohonan mendaftarkan Pernikahannya di Pengadilan Agama/bagi yang muslim, dan di Pengadilan Negeri/bagi yang Non Muslim 

 

Syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut :

  1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)).
  2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ).
  3. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tdak dalam hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8).
Jika Usia calon mempelai yang belum berusia 21 Tahun, dan karena suatu hal harus menikah maka wajib mengajukan Permohonan Dispensasi Nikah ke Pengadilan Agama jika muslim, atau ke Pengadilan Negeri Jika Non Muslim  

Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9).

Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang masih dibawah umur sehingga suami-isteri yang telah melangsungkan perkawinan matang jiwa dan raganya dan diharapkan mampu mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,.

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan sebagai berikut, yaitu : Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.   Pasal 3 menyebutkan : (1) Pada asasnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, POLIGAMI  (Pria memiliki istri lebih dari satu), hanya diperuntukan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang suami beristeri lebih dari seorang (untuk Muslim, yang Non Muslim tidak mengijinkan Poligami). Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada angka 4c menyatakan : Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) menyatakan:  Pengadilan dalam hal memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan Pasal 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menganut asas monogamy, namun poligami dimungkinkan apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang ini.

Seorang laki-laki yang sudah menikah dan berniat ingin memikah lagi atau POLIGAMI bisa mengajukan Pernohonan Poligamim ke Pengadilan Agama. Dan Pengadilann Agama dapat mengabulkan permohonan poligami tersebut jika suami dapat memenuhi semua persyaratan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan. Jika ,Pengadilan mengabulkan permohonan seorang suami untuk POLIGAMI maka pernikahannya nanti akan sah secara agama dan hukum (memiliki buku nikah dari KUA/hanya untuk muslim) .

Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya. Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai berikut : “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.” Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

PENCATATAN NIKAH

Negara Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai warga negara yang baik, maka sebagai warga negara Indonesia harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk dalam hal pencatatan pernikahan. Hal tersebut mengingat pencatatan merupakan suatu proses administrasi negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Disebutkan di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Di sis yang lain, bagi yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat pada Kantor Catatan Sipil. Di dalam Pasal 5 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga dipertegas bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat. Pencatatan pernikahan bagi mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019.

Pendaftaran Kehendak Nikah

Pendaftaran kehendak nikah dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan tempat akad nikah akan dilaksanakan. Dalam hal akad nikah dilaksanakan di luar negeri, maka dicatat di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Waktu paling lambat mendaftarkan kehendak nikah adalah 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan pernikahan. Sementara itu, apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, maka calon pengantin harus mendapat surat dispensasi yang dikeluarkan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota atau kepala perwakilan RI di luar negeri tempat akad nikah dilaksanakan.

Pendaftaran kehendak nikah dilakukan secara tertulis, dengan mengisi formulir permohonan dan melampirkan kelengkapan. Persyaratan administratif kehendak nikah meliputi:

  • Surat pengantar nikah dari desa/kelurahan tempat tinggal calon pengantin;
  • Foto kopi akta kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga;
  • Surat rekomendasi nikah dari KUA Kecamatan setempat bagi calon pengantin yang melangsungkan nikah di luar wilayah kecamatan tempat tinggalnya;
  • Persetujuan kedua calon pengantin;
  • Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun;
  • Izin dari wali yang memelihara atau mengasuh atau keluarga yang mempunyai hubungan darah atau pengampu, dalam hal kedua orang tua atau wali meninggal dunia atau dalam keadaaan tidak mampu menyatakan kehendaknya;
  • Izin dari pengadilan, dalam hal orang tua, wali, dan pengampu tidak bersedia;
  • Dispensasi kawin dari pengadilan bagi calon pengantin yang belum mencapai batas usia minimal yang telah ditentukan;
  • Surat izin dari atasan atau kesatuan jika calon mempelai berstatus anggota TNI atau POLRI;
  • Penetapan izin poligami dari pengadilan agama bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
  • Akta cerai dan salinan atau akta kematian/surat keterangan kematian bagi janda atau duda ditinggal cerai atau mati.

Pemeriksaan Kehendak Nikah

Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN melakukan pemeriksaan dokumen nikah. Pemeriksaan tersebut dilakukan di wilayah kecamatan/kantor perwakilan Indonesia di luar negeri tempat dilangsungkannya akad nikah. Pemeriksaan terhadap dokumen nikah dilakukan dengan menghadirkan calon suami, calon istri, dan wali untuk memastikan ada atau tidak adanya halangan untuk menikah.

Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan dokumen lengkap, maka dituangkan dalam lembar pemeriksaan nikah yang ditandatangani oleh calon suami, calon istri, wali, dan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN. Di sisi yang lain, apabila dokumen belum memenuhi ketentuan, Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN memberitahukan secara tertulis kepada calon suami, calon istri, dan/atau wali untuk melengkapi dokumen persyaratan dan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum peristiwa nikah.

Apabila pemeriksaan dokumen nikah tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk menikah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perkawinan, maka kehendak nikah ditolak. Selanjutnya, Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN memberitahukan penolakan secara tertulis kepada calon suami, calon istri, dan/atau wali disertai alasan penolakan.

Pengumuman Kehendak Nikah

Setelah terpenuhinya ketentuan dalam hal pendaftaran dan pemeriksaan kehendak nikah, maka Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN mengumumkan kehendak nikah tersebut. Pengumuman dilakukan pada tempat tertentu di KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Indonesia di luar negeri atau media lain yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.

Pelaksanaan Pencatatan Nikah

Pencatatan nikah dilakukan setelah akad nikah dilaksanakan. Akad nikah dilaksanakan setelah memenuhi apa yang menjadi persyaratan pada pendaftaran, pemeriksaan dinyatakan lengkap, dan telah dilakukan pengumuman kehendak nikah. Serta juga memenuhi rukun nikah, yang meliputi calon suami, calon istri, wali, 2 (dua) orang saksi, dan ijab qabul. Akad nikah dicatat dalam akta nikah oleh Kepala KUA Kecamatan/PPN LN. Ditandatangani oleh suami, istri, wali, saksi, Penghulu, dan Kepala KUA Kecamatan/PPN LN. Akad nikah dilaksanakan di hadapan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN yang mewilayahi tempat akad nikah dilaksanakan. Untuk akad nikah yang dilaksanakan di luar tempat tinggal calon suami dan calon istri, maka harus mendapatkan surat rekomendasi nikah dari Kepala KUA Kecamatan wilayah tempat tinggal masing-masing.

Tempat akad nikah dilaksanakan di KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Indonesia di luar negeri pada hari dan jam kerja. Atas permintaan calon pengantin dan dengan persetujuan Kepala KUA Kecamatan/Penghulu/PPN LN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau di luar hari dan jam kerja.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama, dijelaskan bahwa nikah/rujuk yang dilaksanakan di KUA Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan. Namun, apabila nikah/rujuk dilaksanakan di luar KUA Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi, per peristiwa nikah/rujuk sebesar Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah). Saat ini, administrasi pencatatan peristiwa nikah menggunakan aplikasi SIMKAH (Sistem Informasi Manajemen Nikah), yang merupakan aplikasi pengelolaan administrasi nikah yang berbasis web. Dalam hal KUA wilayah tertentu belum terhubung dengan jaringan internet, administrasi pencatatan nikah tetap dilakukan secara manual.

Penyerahan Buku Nikah

Pasangan suami istri memperoleh buku nikah dan kartu nikah. Buku nikah diberikan masing-masing kepada suami dan istri sesaat setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan, serta ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan/PPN LN. Dalam hal terdapat hambatan dalam penerbitan buku nikah, penyerahan buku nikah dapat dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah akad nikah. Sementara itu, untuk kartu nikah diberikan sebanyak 1 (satu) kartu sebagai bukti dan dokumen tambahan, diutamakan kepada pasangan nikah pada tahun berjalan.

Apabila terjadi kesalahan dalam penulisan digital atau manual pada buku nikah, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 37 Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, maka dapat dilakukan penggantian buku nikah. Dalam hal ketersediaan buku nikah terbatas, pembetulan kesalahan dalam penulisan tersebut dapat dilakukan dengan cara mencoret 2 (dua) garis pada tulisan yang salah, menulis perbaikannya dengan huruf kapital, Kepala KUA membubuhi paraf pada ujung kanan kata yang dicoret, dan cap dinas di atas kata yang salah. Untuk perubahan nama didasarkan pada akta kelahiran yang baru, sedangkan pencatatan perubahan data lainnya didasarkan pada surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Terhadap buku nikah yang rusak atau hilang dapat diterbitkan duplikat buku nikah. Penerbitan tersebut dilakukan melalui permohonan secara tertulis hanya berdasarkan alasan rusak atau hilang. Apabila rusak harus disertai dengan buku nikah yang rusak, sedangkan apabila hilang harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Untuk duplikat buku nikah yang pernah diterbitkan dalam bentuk lembaran dapat diganti dengan duplikat buku nikah baru melalui permohonan kepada KUA Kecamatan yang menerbitkan.

Legalisasi buku nikah dilakukan pada KUA Kecamatan yang mencatat peristiwa nikah. Dalam hal KUA Kecamatan sudah menggunakan aplikasi SIMKAH berbasis web, legalisasi dapat dilakukan pada KUA Kecamatan lain. Namun, bagi yang belum menggunakan, dapat dilakukan di KUA Kecamatan lain setelah melalui verifikasi terlebih dahulu. Legalisasi untuk keperluan ke luar negeri dilakukan oleh pejabat pada direktorat yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan KUA Kecamatan.

Tujuan dan Manfaat

Beberapa tujuan dari pencatatan pernikahan, yaitu untuk tertib administrasi pernikahan, jaminan memperoleh hak-hak tertentu, memberikan perlindungan terhadap status pernikahan, memberikan kepastian terhadap status hukum suami-istri maupun anak, serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang diakibatkan oleh adanya pernikahan. Hal ini juga sebagai suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian pernikahan, khususnya bagi kaum perempuan dan anak dalam kehidupan rumah tangga guna melindungi hak-haknya. Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan oleh buku nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami istri, maka salah satu di antaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing (Ahmad Rofiq, 2003).

Pencatatan pernikahan beserta aktanya memiliki 2 (dua) manfaat yang bersifat preventif dan represif. Manfaat bersifat preventif, artinya, untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atas penyimpangan rukun dan syarat pernikahan, baik menurut agama dan kepercayaan itu maupun menurut peraturan perundang-udangan, sehingga mendapat perlindungan hukum, memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan, legalitas formal pernikahan di hadapan hukum, dan terjamin keamanan (Neng Djubaidah, 2010).

Pencatatan pernikahan memiliki manfaat respresif, artinya, bagi suami istri yang karena suatu hal pernikahannya tidak dapat dibuktikan dengan akta/buku nikah, maka peraturan perundang-undangan membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama. Hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalam melangsungkan pernikahan tidak hanya mementingkan aspek hukum fikih saja, tetapi juga aspek hukum keperdataan (yang berlaku di negara Indonesia) juga perlu diperhatikan secara seimbang.

Dari uraian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pencatatan pernikahan dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang telah melangsungkan pernikahan, sehingga memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya pernikahan serta para pihak dapat mempertahankan pernikahan tersebut kepada siapa pun dan dihadapan hukum. Di samping itu, pencatatan pernikahan merupakan usaha pemerintah untuk mengayomi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.