Ruko Rich Palace, jalan Mayjend Sungkono No 149 - 151 Surabaya

PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM KASUS KORUPSI BUPATI PASURUAN

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email
WhatsApp
Telegram

Pemberitaan media massa akhir-akhir ini, ramai membicarakan  kebebasan Bupati Pasuruan Dade Angga dari dugaan tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung ini menguatkan putusan sebelumnya yakni Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang juga membebaskan Dade Angga.[1]

Kasus ini bermula saat pegawai Bank Bukopin mendatangi Bupati Dade Angga di Januari 2001, menawarkan penempatan uang kas daerah ke bank Bukopin dengan penjelasan bahwa bunga di bank Bukopin lebih tinggi dari bank Jatim (bank dimana selama ini uang kas daerah Pasuruan ditempatkan). Dade Angga menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Kabag Keuangan, Indra Kusuma. Dade Angga menyerahkan semuanya kepada Indra Kusuma untuk dipelajari semua peraturan perundangan apakah memungkinkan untuk dilakukan penempatan ke bank lain. Setelah itu tidak ada pembicaraan apapun di antara Bupati Dade Angga dengan Indra Kusuma selaku Kabag Keuangan. Namun, tiba-tiba ditemukan fakta bahwa Indra Kusuma telah memindahkan uang kas daerah dari Bank Jatim ke Bank Bukopin sejak Desember 2001 sampai dengan Maret 2003. Dan pertama kali pada bulan Juli 2003, Indra Kusuma melakukan penarikan uang kas daerah untuk kepentingan pribadi. Pemindahan uang kasda dari Bank Jatim ke Bank Bukopin dilakukan Indra Kusuma pada saat kepemimpinan Dade Angga (1998 – Juni 2003), namun tanpa persetujuan Bupati Dade Angga. Sedangkan penarikan uang kasda oleh Indra Kusuma baru dilakukan pada saat Bupati Dade Angga sudah tidak

menjabat, atau dengan kata lain penarikan uang kasda oleh dan untuk kepentingan Indra Kusuma sendiri baru dilakukan saat Jusbakir Aljufri menjadi Bupati Pasuruan (Juli 2003-2008).

Hal inilah yang kemudian oleh Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Dade Angga didakwa telah melakukan korupsi bersama dengan Indra Kusuma sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 (dakwaan subsider) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.

Berdasarkan hal tersebut, pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah apakah Bupati Dade Angga dapat dikenai ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya cukup disebut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?


[1] Detik Surabaya, Korupsi Kas Daerah, Bupati Pasuruan Non AKtif Dade Angga Diputus Bebas MA, Kamis,  28 Juli 2011. Okezone.com, Bupati Pasuruan Non AKtif Dade Angga Tanggapi Dingin Putusan Bebas MA, Jumat, 29 Juli 2011. Surabaya Post, Setahun Non  Aktif, Dade Angga Ngantor Lagi, Jumat, 7 Oktober 2011. Surya.co.id, Setahun Nganggur Dade Angga Akhirnya Diputus Tak Bersalah, Jumat, 29 Juli 2011. Detiknews, MA Putus Bebas Mantan Bupati Pasuruan Terdakwa Korupsi, Kamis, 28 Juli 2011.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Dade Angga Tidak Dapat Dinyatakan Korupsi Sebagaimana Ditentukan Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi.

Permasalahan ini timbul karena adanya pemindahan penempatan dana/uang kas daerah yang semula di Bank Jatim ke Bank Bukopin cabang Malang, yang pertama kali dilakukan oleh Kabag Keuangan Daerah Pasuruan, Indra Kusuma, pada tanggal 6 Desember 2001 senilai Rp.1.000.000.000.- (satu milyard rupiah). Apakah perbuatan Kabag Keuangan (Indra Kusuma) memindahkan uang daerah Kabupaten Pasuruan dari Bank Jatim cabang Pasuruan ke Bank Bukopin cabang Malang merupakan sifat melawan hukum (wederrechtelijkeheid) dalam tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?.

Pembagian hukum di Indonesia berdasarkan isinya diklasifikasikan ke dalam hukum publik dan hukum privat. Doktrin hukum mennetukan bahwa hukum public merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen), sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari fungsinya salah satu hukum public adalah hukum pidana yang secara esensial dibagi menjadi hukum pidana materiil (materiil strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel strafrecht).[1]

Hukum pidana sendiri diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singular, ius special, bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum pidana umum termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus diatur dalam masing-masing undang-undang tersendiri.[2]

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu hukum pidana khusus. Kekhususan tindak pidana korupsi antara lain terletak pada sistem pembuktiandan dampaknya bagi keuangan dan perekonomian Negara. Jika dalam hukum pidana umum, pembuktian dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum, maka dalam tindak pidana korupsi Terdakwalah yang diberi beban pembuktian. Sebagain besar kasus korupsi selalu dihubungkan dengan ketentuan Pasal  2 ayat (1) atau ketentuan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :


[1] L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu HUkum, Jakarta : Pradnya Paramita, 2005, hal.171. J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, Bandung : Bina Cipta, 1979, hal. 2-3. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hal. 4-5. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 73-75. Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1982, hal.3.

[2] Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban pembuktian Terhadap tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Bandung : Alumni, 2007, hal.1. Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya), Bandung : PT. Alumni, 2007, hal.1.

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak  Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”.[1]

Selanjutnya, ketentuan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”.[2]

Unsur-unsur serupa yang ada dalam kedua pasal tersebut :

  1. Unsur “setiap orang”, istilah lazim dalam perundang-undangan pidana (KUHP) memakai kata “barang siapa”, atau dalam bahsa Belanda disebut “hij”, orang yang bila terbukti memenuhi semua unsur Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka disebut “pelaku”.

Unsur “melawan hukum” (wederrechttelijk), pengertian melawan hukum materiil dan formil sebagaimana penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, dan dirubah menjadi hanya melawan hukum formil.[3] Mahkamah Konstitusi menganggap Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Korupsi dimaksud tidak sesuai dengan perlindunagn dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana ketentuan Pasal


[1] Tim Redaksi Fokusmedia, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Edisi Lengkap 2005 Dengan Penjelasannya, Bandung : Fokusmedia, 2005, hal. 87.

[2] Ibid.

[3] Keputusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-4/2006, tanggal 25 Juli 2006.

  1. 28 D ayat (1) UUD 1945. Konsep melawan hukum formil mewajibkan pembuat undang-undang lebih cernat dan dan lebih rinci dalam merumuskan undang-undang agar kepastian hukum dapat terwujud (bestimmheitsgebot).[1] Melawan hukum disini harus diartikan sebagai melawan hukum formil (undang-undang) bukan melawan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dibenarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam sebuah kasus korupsi yang menyatakan Terdakwa terbukti melawan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri.[2]
  2. Unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi” artinya melakukan perbuatan yang dapat memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena memperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.[3]

Unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”, yang diletakkan setelah kata “dapat”, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.


[1] Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.358.

[2] Pidato Nur Basuki Minarno dalam Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Fakulatas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu, tanggal 24 Juli 2010.

[3] Penjelasan Pasal  2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  1. Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara.[1]

Berdasarkan penjelasan unsur-unsur pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dimaksud, jelas bahwa melawan hukum disini adalah melawan hukum formil (undang-Undang), bukan peraturan perundang-undangan, sehingga sejak awal, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Dade Angga yang menyatakan Dade Angga telah melawan ketentuan Permendagri No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996 adalah  tidak dapat dibenarkan.

Ketentuan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini pada dasarnya sama dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, namun satu hal yang membedakan adalah pelakunya, jika Pasal 2 pelakunya bukan pejabat (pegawai) Negara namun melibatkan pejabat (pegawai) negara, sedangkan Pasal 3 adalah manakala pelakunya adalah pejabat Negara atau pegawai negeri. Selanjutnya, dalam dakwaan maupun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Dade Angga dinyatakan bahwa Dade Angga telah melanggar (melawan) ketentuan Pasal 4 angka (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996. Demi mengetahui kebenaran dakwaan maupun tuntutan Jaksa Penuntut Umum dimaksud, maka


[1] Ibid.

perlu dipahami lebih jauh ketentuan Pasal 4 angka (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996 tersebut.

Pasal 4 angka (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996, menyatakan :

Semua uang daerah disimpan dalam rekening atas nama kas daerah pada bank pembangunan daerah atau bank pemerintah lainnya dan dilarang disimpan dalam bentuk deposito”.[1]

Namun, dalam ketentuan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dinyatakan bahwa :

Pemerintah Daerah dapat melakukan investigasi dalam bentuk penyertaan modal, deposito atau bentuk investasi lainnya sepanjang hal tersebut memberi manfaat bagi peningkatan pelayanan masyarakat dan tidak mengganggu likuiditas Pemerintah Daerah”. [2]

Pasal 33 Petunjuk Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tersebut menyatakan bahwa :

  1. Bendahara Umum Daerah menyimpan uang milik Daerah pada bank yang sehat dengan cara membuka rekening kas daerah.
  2. Pembukaan Rekening Kas Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat lebih dari 1 (satu) bank.
  3. Pembukaan rekening di bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah dan diberitahukan kepada DPRD.[3]

Keluarnya Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 yang diikuti dengan petunjuk pelaksanaannya yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No.29 Tahun 2002, maka demi hukum kententuan mengenai


[1] Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996.

[2] Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

[3] Ibid.

hal yang sama yaitu Permendagri No.2 Tahun 1994, khususnya ketentuan Pasal 4 angka (5) yang mewajibkan uang daerah untuk disimpan dalam rekening atas nama kas daerah pada Bank Pembangunan Daerah atau Bank Pemerintah lainnya dan dilarang dalam bentuk deposito, mutlak menjadi tidak berlaku. Ada 3 (tiga) alasan yang menyebabkan tidak berlakunya ketentuan Pasal 4 angka (5) Permendagri No.2 Tahun 1994 tersebut, adalah :

  1. Pertama, kedudukan hukum Permendagri berada di bawah Peraturan Pemerintah. Sebagaimana asas hukum yang menyatkaan “lex superior derogate legi inferiori”.[1] Hukum yang derajatnya lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang derajatnya lebih rendah ;
  2. Kedua, ketentuan hukum Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 dikeluarkan dan diberlakukan belakangan setelah Permendagri               No.2 Tahun 1994, dan sesuai dengan asas “lex posterior derogate legi priori[2] ketentuan hukum yang dikeluarkan paling akhirlah yang harus diberlakukan ;
  3. Ketiga, dalam Pasal 48 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 menyatakan bahwa pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1975 Tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 1975 Tentang Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah dimaksud, maka Permendagri No.2 Tahun 1994

khususnya Pasal 4 angka 5 demi hukum tidak berlaku lagi, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 33 angka 1 dan angka 2 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tersebut.


[1] Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta :  Iblam, 2006, hal. 44-47.

[2] Ibid.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Kabag Keuangan pemerintah kabupaten Pasuruan yang menempatkan uang daerah di luar bank Jatim, dan bank Pemerintah lainnya (incasu pada bank Bukopin) mempunyai dasar hukum, kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa bank Bukopin tersebut menurut bank Indonesia ditempatkan sebagai bank yang tidak sehat.

Seandainya ada ketentuan yang lebih rendah dari PP ataupun Permendagri di atas, semisal Surat Keputusan Kepala Daerah dalam hal penempatan uang Daerah ke bank Bukopin tersebut, sepanjang tidak menimbulkan kerugian keuangan Negara (daerah), maka tidak terjadi tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesalahan prosedur, kesalahan teknis atau kesalahan administrasi dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi dikenal ada 4 (empat) jenis, yaitu :[1]

  1. Pertama,kesalahan administrasi murni, maksudnya si pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur atau tata laksana suatu pekerjaan tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi kepentingan hukum Negara. Salah perbuatan administrative semacam ini bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara administratif pula. Misalnya dengan mencabut, membatalkan atau melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya.

Kedua, si pembuat khilaf (culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu, yang dari pekerjaan ini membawa kerugian Negara, misalnya nilai uang tertentu. Kasus semacam ini masuk pada perbuatan melanggar hukum menurut hukum perdata (Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek), dan bukan korupsi. Pada si pembuat diwajibkan untuk mengganti kerugian. Korupsi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos, melainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana


[1] Drs. Adami Chazawi, SH., Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Alumni, Bandung, halaman 310-312.

  1. yang tidak secara tegas mencantumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus. Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Jan Remmelink mengatakan “ … kesengajaan juga tersembunyi di dalam cara bagaimana suatu tindakan dilakukan, yaitu bilamana dalam kata kerja yang dipergunakan rumusan delik sudah terkait unsur dolus . . .”, seperti Pasal 2 ayat (1) undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatan memperkaya.  Tidaklah mungkin melakukan wujud memperkaya, misalnya mendepositokan uang Negara atas nama pribadi tidak disadari dan tidak dikehendaki. Namun, kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara menganalisisnya, karena tidak dicantumkan dalam rumusan.
  2. Ketiga,si pembuat sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, namun tidak (dapat) membawa dampak kerugian kepentingan hukum Negara. Kesalahan semacam ini masih ditoleransi sebagai kesahalan administratif. Sanksi administratif dapat dijatuhkan pada si pembuat. Tetapi bukan sanksi pidana. Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi.

Keempat, si pembuat sadar dan mengerti bahwa pekerjaan administratif tertentu menyalahi aturan-dilakukannya juga, yang karena itu (dapat) membawa kerugian Negara. Dalam hal ini masuk pada persoalan korupsi. TInggal jaksa dalam pembuktian mempertajam analisis hukum perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan hukum mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber tertulis, akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan untuk melakukan analisis pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis.[1] Oleh sebab itu dalam hukum korupsi, khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kesalahan administrasi / prosedur murni atau kesalahan administrasi culpa (meskipun menimbulkan kerugian Negara) tidak merupakan tindak pidana korupsi.[2]


 [1]Ibid.

[2]Ibid .

Sampai dengan berakhirnya masa jabatan Dade Anggasebagai Bupati Kabupaten Pasuruan, tanggal 30 Juni 2003, Dade Angga masih meninggalkan uang daerah sebesar Rp.119.000.000.000.- (seratus sembilan belas milyard), tidak terdapat bukti di persidangan tentang adanya pengeluaran uang kas daerah dari bank Bukopin maupun bank lainnya yang dipergunakan di luar ketentuan hukum, sehingga tidak ada kerugian Negara yang ditimbulkan. Oleh karena itu korupsi terhadap uang daerah sebagaimana terbukti dalam putusan Pengadilan Negeri Pasuruan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr dengan Indra Kusuma sebagai terdakwa, adalah terjadi sejak bulan Juli 2003 sampai dengan tahun 2006, pada saat Jusbakir Aldjufri menjabat sebagai Bupati Pasuruan, karena pada saat itu Dade ANgga sudah tidak lagi menjabat sebagai Bupati Pasuruan.[1]

Uang daerah kabupaten Pasuruan dalam jumlah Rp. 42.517.037.534,74 (empat puluh dua milyard lima ratus tujuh belas juta tiga puluh tujuh ribu lima ratus tiga puluh empat rupiah koma tujuh puluh empat sen) yang ditemukan tersebut, terbukti disalahgunakan untuk yang pertama kali pada tanggal 14 Juli 2003 berupa pencairan deposito No.Rek. 10.000.000,- (sepuluh milyard rupiah) 2060200596 ke tabungan BNI No.Rek.216.00035368.901 atas nama Drs.Indra Kusuma., MSi.[2] Jelaslah bahwa menurut putusan Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut, tindak pidana korupsi terhadap uang kas daerah kabupaten Pasuruan terjadi dalam tempos jabatan bupati Drs. Jusbakir Aljufri., SH., MM (almarhum). Dalam hal dipidananya Kabag Keuangan (Drs.Indra Kusuma., MSi) sebagaimana putusan Pengadilan Negeri kabupaten Pasuruan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr, (jika inkracht van gewijsde), apakah Dade Anggaikut dibebani tanggung jawab pidana dalam penyertaan (deelneming) tindak


       [1] Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr, halaman 176, yang pada salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan “bahwa benar terdakwa (Drs. Indra Kusuma.,MSi) harus mempertanggungjawabkan dana kasda milik pemerintah daerah kabupaten Pasuruan sisanya sebesar Rp.42.517.037.534,74 (empat puluh dua milyard lima ratus tujuh belas juta tiga puluh tujuh ribu lima ratus tiga puluh empat rupiah koma tujuh puluh empat sen).

       [2] Ibid, halaman 203 ;

pidana korupsi bersama Kabag Keuangan menggunakan uang daerah kabupaten Pasuruan di bank Bukopin cabang Malang diluar kepentingan yang sah menurut ketentuan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan perkara pidana No.41/Pid.B/2009/PN.Psr,dengan Indra Kusuma sebagai terdakwa, jelas terbukti bahwa perbuatan yang merugikan keruangan Negara (keuangan daerah kabupaten Pasuruan) terjadi setelah masa kepemimpinan Dade Angga sebagai bupati, yaitu pada masa jabatan Bupati Jusbakir Aljufri. Terbukti penggunaan uang kas daerah secara menyimpang dimulai pada tanggal 14 Juli 2003, sedangkan Dade Angga menjadi bupati sampai dengan tanggal 30 Juni 2003 saja. Jelas pada saat itu Dade Anggatidak lagi menjabat sebagai Kepala Daerah.

Dari sudut penyertaan (deelneming),secara obyektif Dade Anggadapat terlibat meskipun sudah tidak lagi menjabat, apabila dari sekian banyak uang daerah yang disalahgunakan oleh pejabat-pejabat setelah beliau tidak menjabat, asalkan (syaratnya) secara objektif Dade Anggamenerima uang bagian berapa pun jumlahnya. Namun, dari fakta-fakta yang terungkap selama persidangan dalam perkara No.41/Pid.B/2009/PN.Psr sebagaimana yang secara formal tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut, tidak ada sedikitpun bukti apabila Dade Angga menerima bagian. Bahkan secara tegas Indra Kusuma menerangkan di dalam persidangan apabila tidak ada dana yang masuk atau diterima oleh Dade Angga.[1] Dalam hukum penyertaan (deelneming), seseorang dapat saja ikut terlibat secara psikis (subjektif), meskipun tidak secara phisik (obyektif), yaitu pada bentuk pembuat penganjur(uitlokker) dan pembuat penyuruh(doen pleger). Keterlibatan seorang pembuat penganjur dan pembuat  penyuruh terjadi memang pada tempos sebelum tindak pidana terwujud atau diwujudkan oleh orang lain. Namun masih banyak syaratnya baik syarat subjektif maupun


 [1] Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr, halaman 153 ;

objektif, dan syarat-syarat tersebut di dalam pemeriksaan persidangan perkara No.41/Pid.B/2009/PN.Psr tersebut sama sekali tidak muncul.

Syarat (subjektif dan objektif) pembuat penganjur adalah sebagai berikut:

  1. Harus terdapatnya kesengajaan (subjektif) pada diri penganjur, yang ditujukan pada 4 (empat) hal, ialah : a. pada digunakannya cara-cara menganjurkan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, b.pada perbuatan menganjurkan beserta akibatnya, c. pada orang lain untuk melakukan kejahatan, dan d. pada orang lain yang lain yang mampu bertanggungjawab.
  2. Harus menggunakan minimal satu cara diantara 10 cara menganjurkan sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP, antara lain memberikan sesuatu dan sebagainya.
  3. Adanya psychische causaliteit pada diri pembuat pelaksananya (pleger), artinya pelaku pelaksana terbentuk kehendaknya untuk melakukan kejahatan disebabkan langsung oleh pengaruh perbuatan menganjurkan / membujuk oleh pelaku penganjur pada pelaku pelaksana (pleger) yang menggunakan salah satu diantara 10 macam cara / upaya penganjuran tersebut.
  4. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya / pleger) telah melakukan tindak pidana atau percobaannya sesuai dengan yang dianjurkan oleh pembuat penganjur ;
  5. Orang yang dianjurkan adalah termasuk orang yang mampu bertanggungjawab.[1]

Kelima syarat tersebut sifatnya imperatif secara kumulatif, atau keharusan terdapat kelima-limanya. Tiada satu syaratpun yang boleh ditinggalkan. Dalam perkara penyalahgunaan uang kas daerah pemerintah kabupaten Pasuruan oleh Indra Kusuma bersama beberapa tokoh masyarakat, para ulama dan kyai maupun fraksi-fraksi di DPRD yang mendukung pencalonan bupati almarhum Jusbakir Aljufri (almarhum) tersebut, tidak ada sebuah fakta yang dapat


       [1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan & Penyertaan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, halaman 112-113.

dijadikan bukti atau petunjuk sekalipun mengenai adanya salah satu diantara 5 (lima) syarat tersebut pada diri Dade Angga, oleh sebab itu dengan fakta-fakta yang ada, tidak mungkin Dade Anggadapat dilibatkan sebagai pembuat penganjur pada Kabag Keuangan (Indra Kusuma) bersama beberapa tokoh masyarakat, para ulama dan kyai maupun fraksi-fraksi di DPRD yang mendukung pencalonan bupati almarhum Jusbakir Aljufri (almarhum) dalam hal melakukan (dugaan) tindak pidana korupsi sebagaimana perkara tersebut telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Pasuruan tersebut.

Syarat bagi pembuat penyuruh yang utama bahwa orang yang disuruh melakukan (doen pleger) haruslah orang yang tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab pidana. Hal yang demikian tidak mungkin terjadi, mengingat pribadi kabag keuangan adalah orang yang sehat jiwanya, tidaak sakit syarat atau gila. Ia dalam melakukan perbuatannya dikendalikan oleh kesadaran dan kehendaaknya sendiri, dan tidak terbukti berada di bawah paksaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, akan mencemarkan dan akan membuka rahasia maupun penyesatan. Dalam persidangan perkara pidana No.41/Pid.B/2009/PN.Psr, tanggal 5 Agustus 2009 tidak terbukti adanya keadaan jiwa yang menyebabkan Indra Kusuma tidak dapat dipertanggungjawabkan atas semua perbuatan yang dilakukannya.

Selain dari 2 (dua) bentuk penyertaan (pembuat penganjur dan pembuat penyuruh) tersebut diatas, yakni pembuat pelaksana (pleger), pembuat peserta (mede pleger) dan pembuat pembantu (medeplichtiger), yang wajib memenuhi syarat obyektif, artinya keterlibatan secara phisik bersama orang lain dalam melakukan kejahatan. Ketiga bentuk penyertaan ini sangat tidak mungkin dapat disangkakan pada Dade Anggaoleh karena penyalahgunaan keuangan daerah oleh Indra Kusuma tersebut dilakukan olehnya dan pejabat lain yang terkait, adalah pada masa kepemimpinan daerah bupati Jusbakir Aljufri, dan bukan di masa kepemimpinan Dade Angga sebagai bupati kabupaten Pasuruan.

Dari sudut ketentuan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan yang dari sudut subjektif atau kesengajaan untuk mempermudah tindak pidana maupun sudut obyektif perbuatan yang sifatnya mempermudah kabag keuangan dalam hal menyalahgunakan anggaran kasda kabupaten Pasuruan tidak mungkin terpenuhi. Dengan pertimbangan atau alasan hukum bahwa tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh kabag keuangan terjadi pada saat jabatan bupati dipegang oleh Drs. Jusbakir Aljufri, SH., MM (almarhum), dan  bukan pada periode jabatan Dade Angga.

Dari tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa :

  • Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 jo Peraturan Daerah kabupaten Pasuruan No.37 Tahun 2001, perbuatan Kabag Keuangan Kab. Pasuruan (Indra Kusuma) yang memindahkan uang kas daerah Kab.  Pasuruan dari Bank Jatim ke Bank Bukopin bukanlah sifat melawan hukum (wederechtelijkheid) dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 maupun 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dengan UU No.20 Tahun 2001.
  • Dipidananya Indra Kusuma sebagaimana bunyi amar Putusan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr, tidak dapat menjadi dasar pertanggungjawaban pidana Bupati Dade Angga dalam penyertaan (deelneming) tindak pidana korupsi yang dilkaukan Indra Kusuma, oleh karena korupsi yang dilakukan Indra Kusuma tersebut terjadi pada saat Bupati Jusbakir Aljufri menjabat (bukan pada saat Dade Angga menjabat sebagai Bupati Pasuruan), dan Dade Angga juga tidak terbukti menerima uang dari Indra Kusuma. 

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Alumni, Bandung.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan & Penyertaan, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, 2005.

Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materiil Bagian Umum. Bandung : Bina Cipta, 1979.

Detik Surabaya. Korupsi Kas Daerah, Bupati Pasuruan Non Aktif Dade Angga Diputus Bebas MA. Kamis,  28 Juli 2011.

Detiknews. MA Putus Bebas Mantan Bupati Pasuruan Terdakwa Korupsi. Kamis, 28 Juli 2011.

Farid, Ahmad Zainal Abidin. Hukum Pidana I. Jakarta : Sinar Grafika, 1995.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-4/2006, tanggal 25 Juli 2006.

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta :  Iblam, 2006.

Mulyadi, Lilik. Asas Pembalikan Beban pembuktian Terhadap tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003. Bandung : Alumni, 2007.

Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya). Bandung : PT. Alumni, 2007.

Okezone.com. Bupati Pasuruan Non Aktif Dade Angga Tanggapi Dingin Putusan Bebas MA. Jumat, 29 Juli 2011.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 1994 Tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diubah dengan Permendagri No.2 Tahun 1996.

Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Pidato Nur Basuki Minarno dalam Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Fakulatas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu, tanggal 24 Juli 2010.

Poernomo, Bambang. Pandangan Terhadap Asas-asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta : Liberty, 1982.

Putusan Pengadilan Negeri Pasuruan No.41/Pid.B/2009/PN.Psr.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Surabaya Post. Setahun Non  Aktif, Dade Angga Ngantor Lagi. Jumat, 7 Oktober 2011.

Surya.co.id. Setahun Nganggur Dade Angga Akhirnya Diputus Tak Bersalah. Jumat, 29 Juli 2011.

Tim Redaksi Fokusmedia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Edisi Lengkap 2005 Dengan Penjelasannya. Bandung : Fokusmedia, 2005.