Fenomena perebutan anak antara mantan suami dan mantan isteri seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat. Anak dianggap sebagai benda dan harta kekayaan, sehingga harus diperebutkan “kepemilikan”nya. Lebih ironis, setelah perkara perebutan anak tersebut telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), proses eksekusi sangat sulit dilaksanakan. Akibatnya anak terus terombang-ambing dalam perebutan orang tuanya, hingga menjadi salah satu penyebab kekerasan terhadap anak, termasuk kasus-kasus penculikan, penyekapan dan penganiayaan anak yang dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri. Mahkamah Agung hingga saat ini belum juga membuat kebijakan dan kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan belum bisa memastikan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut.
Salah satu fenomena perebutan anak tersebut tergambar jelas dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No. 78/PDT.G/2007/PTA.SBY tanggal 3 Mei 2007 dan Putusan Pengadilan Agama Surabaya No.1302/Pdt.G/2006/PA.Sbytanggal 30 Januari 2007 antara mantan suami isteri H. Muhammad Lie Soehartono dengan Yenny Suriansyah, orang tua dari anak bernama Anny Soehartono. Pada putusan gugatan perceraian sebelumnya yang telah inkracht, Yenny Suriansyah ditetapkan sebagai pemegang hak asuh anak bernama Anny
Soehartono. Tidak terima dengan putusan tersebut, H. Muhammad Lie Soehartono mengajukan gugatan peralihan hak asuh anak, register perkara No.1302/Pdt.G/2006/PA.Sbydengan dasar Tergugat yakni Yenny Suriansyah, tidak layak sebagai pemegang hak asuh anak bernama Anny Soehartono oleh karena berakhlaq tidak mulia dan beragama non Islam, sehingga hak asuh tersebut harus dialihkan kepada Penggugat, dan pada akhirnya Pengadilan Agama Surabaya mengabulkan gugatan tersebut sehingga hak asuh anak beralih kepada Penggugat. Namun, pada tingkat pada tingkat banding gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.
Di sela-sela proses perebutan anak tersebut, sempat terjadi ketegangan disebabkan tindakan H. Muhammad Lie Soehartono yang mengirimkan beberapa aparat kepolisian ke apartemen Yenny Suriansyah untuk mengambil paksa Anny Soehartono Melihat hal tersebut, maka Yenny Suriansyah membawa anaknya ke atas balkon apartemen seperti hendak mengakhiri hidup dengan mengikutsertakan anaknya. Kejadian ini menjadi tontonan orang-orang yang melintas di depan apartemen tersebut, bahkan banyak media massa yang meliput saat itu.
Tulisan ini akan membahas sejauh apa kasus perebutan anak menjadi sebuah pelanggaran hak asasi anak, siapa saja pelakunya dan ketentuan hukum apa yang dapat dikenakan.
PEREBUTAN HAK ASUH ANAK SEBAGAI SEBUAH PELANGGARAN TERHADAP HAK-HAK ANAK YANG DIATUR DALAM UU PERLINDUNGAN ANAK
Setelah proses persidangan cerai berakhir, terkadang masih ada suatu permasalahan yang masih menyelimuti hubungan orang tua dengan anak. Masalah tersebut adalah masalah perebutan hak asuh anak. Perebutan hak asuh anak terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan, baik dalam hal hak asuh anak yang ditetapkan melalui putusan Pengadilan jatuh pada salah satu orang tua maupun dalam hal putusan Pengadilan menetapkan hak asuh anak dilakukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua.
Atas nama kepentingan anak, kedua orang tua saling mengklaim satu sama lain telah melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, menuduh tidak becus mengurus anak, saling mencegah kunjungan salah satu orangtua, pembatasan waktu bersama, hingga yang terparah adalah saling mempengaruhi pola pikir dan psikologis anak tentang perilaku buruk ayah atau ibunya agar si anak berada dalam perlindungannya, dan lain sebagainya..
Kekeruhan perebutan hak asuh anak ini seringkali berakhir pada upaya penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan oleh salah satu orangtuanya. Dengan dalih untuk kepentingan si anak, salah satu orang tua sepertinya menganggap sah penculikan dan penyekapan terhadap anak tersebut. Mereka juga mengklaim bahwa hukum tidak dapat menyatakan mereka sebagai penculik karena yang diculik adalah anaknya sendiri dan pelakunya adalah orangtuanya sendiri.
Dalam penculikan dan penyekapan anak yang dilakukan oleh salah satu orangtua nya, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejkasaan dan Pengadilan terkesan terlalu bersikap hati-hati (atau lebih tepatnya bersikap bingung) untuk menindak pelaku, pada akhirnya kedua orang tua tersebut dipaksa untuk mau berdamai. Upaya perdamaian dalam konflik perebutan hak asuh anak dianggap sebagai upaya yang paling praktis dan paling mudah untuk dilakukan, tanpa menyentuh subtansi hukum sedikitpun. Dengan demikian yang berdamai dalam konflik tersebut adalah kedua orang tua si anak, bukan si anak dengan kedua orangtuanya.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya cukup disingkat UU Perlindungan Anak) menegaskan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.[1]
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka upaya perlindungan yang diberikan undang-undang terhadap seorang anak dilaksanakan sejak dini, yakni sejak anak masih berupa janin dalam kandungan ibunya sampai dengan anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Undang-undang ini meletakkan kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak berdasarkan asas-asas nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak, sebagaimana yang termuat dalam ketentuan pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menyatakan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi :
- a. non diskriminasi,
- b. kepentingan terbaik bagi anak,
- c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan,
- d. perhargaan terhadap pendapat anak”. [2]
Dalam penjelasan pasal 2 UU Perlindungan Anak di atas disebutkan bahwa asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Anak.
Lebih lanjut, yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak dalam penjelasan pasal 2 UU Perlindungan Anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah, masyarakat, badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
Konflik perebutan hak asuh anak yang dilakukan oleh kedua orangtuanya tidak justru melindungan hak-hak dan kepentingan anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan anak, konflik perebutan anak justru telah merusak kepentingan, hak-hak dan perkembangan hidup si anak, terlebih jika sampai si anak diculik, dibawa paksa dengan kekerasan, disekap, ditarik-tarik oleh kedua orang tuanya, dan kekerasan fisik lainnya, jelas mengesampingkan seluruh hak anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak, dan juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2), UU Perlindungan Anak yang menyatakan :
”Bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.[3]
“(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua wali atau piahk lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak emndapat perlindungan dari :
- a. diskriminasi,
- b. eksploitasi,
- c. penelantaran,
- d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan,
- e. ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. (2) Dalam halo rang tua wali pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman“.[4]
“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.[5]
“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”.[6]
Perebutan anak terkadang hingga mengesampingkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, anak dibawa pergi jauh ke tempat persembunyian, tidak disekolahkan dan diposisikan di dalam rumah terus-menerus, dijauhkan dari kehidupan sosialnya, sehingga mengesampingkan hak anak untuk bermain dan bergaul dengan teman sebayanya. Hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan pasal 11 UU Perlindungan anak yang menyatakan :
“(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”.[7]
“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembanagn diri”.[8]
Semua jaminan perlindungan hak-hak anak sebagaimana tersebut di atas diberikan oleh undang-undang sejak anak masih berupa janin, sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 UU Perlindungan Anak adalah :
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.[9]
Artinya, berdasarkan UU Perlindungan Anak, dalam kondisi konflik perebutan hak asuh anak, terlebih adanya upaya penculikan dan penyekapan anak oleh orangtuanya sendiri pada akhirnya berimbas pada terganggunya kepentingan si Anak. Aparat penegak hukum dalam hal ini adalah pihak kepolisian maupun pengadilan dapat bertindak untuk memproses salah satu atau kedua orangtua si anak secara hukum, bukan justru berupaya mendamaikan kedua orangtuanya. Pihak berwajib harus tegas dan konsisten menerapkan UU Perlindungan Anak mengingat hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Jika dalam konflik perebutan hak asuh anak, pihak berwajib hanya mengupayakan perdamaian bagi kedua orangtua, maka UU Perlindungan Anak hanya aturan hukum yang bersifat aksesoris.
Fakta di atas juga menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran hak anak tidak hanya salah satu atau kedua orang tua yang memperebutkan hak asuh anaknya, namun juga para aparat penegak hkum yang tidak mampu bertindak atas kasus-kasus penculikan, penyekapan dan penganiayaan anak yang dilakukan oleh orang tua kandungnya.
Pasal 14 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa :
“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.[10]
Penjelasan pasal 14 UU Perlindungan anak tersebut menyatakan bahwa :
“Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 UU Perlindungan Anak tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”. [11]
Berpijak pada ketentuan pasal di atas, seharusnya Kepolisian maupun Pengadilan dapat bertindak tegas terhadap orangtua kandung yang melakukan penculikan dan penyekapan terhadap anak kandungnya sendiri. Jika tidak bisa bersikap tegas, mungkin aparatur penegak hukum harus ditatar-ulang tentang hak-hak anak. Sikap tegas aparat penegak hukum seharusnya adalah dengan cara memproses orang tua yang melakukan penculikan, penyekapan dan penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri berdasarkan ketentuan pasal 80 UU Perlindungan anak dan pasal 330 KUHP yang menentukan :
“(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam bulan dan atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud ayat (1) luka berat maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya” (pasal 88 UU Perlindungan Anak).[12]
“(1) Barang siapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu daya, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum dewasa umurnya di bawah dua belas tahun “. (pasal 330 KUHP).[13]
Penjelasan Pasal 330 KUHP menyatakan bahwa yang diancam dalam pasal ini adalah orang yang dengan sengaja mencabut (melarikan) orang yang belum dewasa dari kekuasaan orang yang berhak (seperti wali atau orang tua atau pemegang hak asuh anak). Orang belum dewasa di sini adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah, laki-laki maupun perempuan. Pada ayat (2) pasal 330 KUHP dimaksud juga dinyatakan bahwa manakala ternyata bahwa orang (anak) yang dilarikan kurang dari 12 tahun atau dilakukan dengan kekerasan, ancaman dan tipu daya, maka hukuman bagi pelaku harus diperberat. Kehendak untuk melarikan diri bukan dari si anak tapi dari pelaku sendiri. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan adalah menggunakan kekuatan (tenaga) fisik, jasmani, secara tidak sah seperti memukul, menendang, menyeret dan sebagainya, sedangkan yang dimaksud tipu daya adalah akal cerdik, muslihat yang dapat memikat atau memasukkan perangkap.[14]
Ketentuan pasal 330 KUHP dan penjelasannya tersebut dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa siapa saja yang mengambil anak khususnya yang belum berusia 12 tahun dari orang yang berhak seperti walinya, pemegang hak asuhnya, maka hukuman bagi pelakunya harus diperberat, namun berapa batasan pemberatan tersebut tidak dijelaskan lebih detail dalam pasal ini. Namun dalam ketentuan pasal 80 UU Perlindungan anak jika pelakunya adalah orang tuanya sendiri, maka harus diperberat dengan menambah pidananya sebesar 1/3 dari pidana pokok.
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan alasan aparat penegak hukum yang tidak dapat memproses pidana para pelaku kekerasan terhadap anak, hanya karena pelakunya adalah orang tua kandung si anak.
Kenyataan bahwa para aparat penegak hukum baik di tingkat kepolisian sampai dengan pengadilan tidak dapat bersikap tegas terhadap para orang tua yang melarikan anaknya hingga mengabaikan hak-hak anak tersebut, jelas merupakan wujud pelanggaran, pengabaian dan kegagalan yang dilakukan pemerintah (negara) berkenaan dengan kewajibannya untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 20 UU Perlindungan Anak yang menyatakan :
”Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.[15]
Meskipun terkadang negara jelas-jelas telah melakukan perbuatan melanggar hukum, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak ini, namun tidak ada tindakan tegas aparat hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh negara. Wujud lain pelanggaran negara terhadap hak-hak anak tersebut misalnya adalah negara masih mengabaikan hak pendidikan, hak kesejahteraan bagi anak dengan masih banyaknya anak-anak jalanan yang tidak mengenyam pendidikan dan hidup tidak layak di jalanan.
Masalah perebutan anak tidak berhenti dengan ditentukannya siapa pemegang hak asuh si anak, ayah kandungnya atau ibu kandungnya melalui putusan pengadilan yang inkracht, proses terus berlanjut dengan eksekusi penyerahan anak kepada orang tua yang berhak sangat sulit dilakukan, ditambah lagi tindakan orang tua yang tidak berhak membawa lari anaknya hingga mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh si anak, dan proses-proses lain yang sangat merugikan anak. Akibatnya anak terus terombang-ambing dalam perebutan orang tuanya, hingga menjadi salah satu penyebab kekerasan terhadap anak, termasuk kasus penculikan, penyekapan dan penganiayaan anak yang dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri. Mahkamah Agung hingga saat ini belum juga membuat kebijakan dan kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan belum bisa memastikan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, perlu direkomendasikan bahwa Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan menentukan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut.
Secara moril, tidak seharusnya orang tua memperebutkan anak hanya demi kepentingan egosentris orang tua. Orang tua seharusnya bisa berbesar hati atas putusan pengadilan mengenai hak asuh anak jika memang hal tersebut nyata demi kepentingan anak. Landasan filosofis undang-undang mengatur mengenai “hak asuh anak” sebagai akibat perceraian orang tua, bukan untuk diperebutkan, namun untuk kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child) yakni ditangan siapakah pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menyatakan :
“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi : a. non diskriminasi, b. kepentingan terbaik bagi anak, c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, d. perhargaan terhadap pendapat anak”. [16]
Bahwa dalam ketentuan pasal 229 KUH Perdata tidak secara spesifik mengatur kepada siapa perwalian anak pasca perceraian diberikan, namun pasal ini hanya mengatur bahwa setelah perceraian orang tua harus pula ditentukan perwalian bagi anak. Pasal 229 KUH Perdata menyatakan bahwa :
“Setelah mendengar/memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah serta semenda dari anak-anak yang belum dewasa, Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tuanya, maka mereka harus melakukan perwalian atas anak-anak itu”.[17]
Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam telah secara spesifik mengatur bahwa hak asuh anak di bawah usia 12 tahun harus diberikan kepada ibunya. Pasal 105 Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam tersebut menyatakan :
“Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya”.[18]
Ketentuan di atas dilatarbelakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
- faktor kasih sayang ;
Tanpa mengurangi bahwa ayah juga menyayangi anak, namun secara alamiah dan kudrati di manapun dan sejak kapanpun, ibu jauh lebih mampu mengembangkan kasih sayang dan kelembutan kepada anak dibanding ayah.
- faktor kemanusiaan (humanity) ;
Ditinjau dari segi kemanusiaan (humanity), sangat menyayat hati nurani apabila anak yang masih kecil harus ditarik, dipisahkan dan dijauhkan dari pangkuan ibu kandungnya, terlebih jika anak tersebut masih harus menyusu (mendapatkan ASI) ibunya.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan hak asuh dan perwalian dapat dipindahkan jika pemegang hak asuh dan perwalian anak tersebut melalaikan kewajiabannya terhadap anak. Pasal 156 huruf (c) Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan :
“Apabila pemegang hadhanah (hak asuh anak) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka Pengadilan dapat memindahkan hadhanah (hak asuh anak) kepada kerabat yang mempunyai hak pula”. [19]
Dengan demikian, melalui tulisan ini penulis mengetuk hati para orang tua yang akan bercerai agar dalam menentukan hak asuh anak pertimbangkanlah kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Alangkah baiknya manakala hak asuh anak tersebut tidak diperebutkan namun dibicarakan secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :
- Perebutan anak pasca perceraian orang tua adalah wujud dari pelanggaran terhadap hak-hak anak yang diatur dalam ketentuan pasal 4, pasal 9 ayat (1), pasal 11, pasal 13, pasal 16 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak
- Pelaku pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam kasus perebutan anak dapat dikenakan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 UU Perlindungan Anak dan 330 KUHP.
- Rekomendasi hukum dalam masalah perebutan anak adalah :
- Aparat penegak hukum harus menindak tegas pelaku penculikan anak terhadap anak dengan pasal 80 UU Perlindungan Anak atau pasal 330 KUHP sekalipun pelakunya adalah orang tua kandung si anak.
- Mahkamah Agung harus membuat kebijakan dan memberikan kepastian hukum mengenai status anak dari pasangan cerai dan menentukan lembaga mana yang diberi mandat untuk melakukan “eksekusi” terhadap putusan pengadilan tersebut.
- Penentuan hak asuh anak jangan diperebutkan, namun bicarakan secara baik-baik oleh kedua orang tua “di tangan siapakah pertumbuhan jasmani dan rohani anak itu lebih baik”
- DAFTAR PUSTAKA
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No. 78/PDT.G/2007/PTA.SBY tanggal 3 Mei 2007 dan Putusan Pengadilan Agama Surabaya No.1302/Pdt.G/2006/PA. Sby tanggal 30 Januari 2007.
Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia. Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection. Jakarta : 2003.
Visi Media. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta : Visi Media, 2007.
Syaifullah, dkk. Undang-Undang Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002. Padang-Sumbar : Praninta Offset, 2008.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak. Jakarta : 2003.
R. Soesilo. KUHP dengan Penjelasan. Bogor : Politeia, 1981.
R. Subekti-R.Tjitrosudibio. Kitab Undnag-Undnag HUkum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : Pradnya Paramita, 2001.
Arkola. Undang-Undang Perkawinan di Indonesi., Surabaya : Arkola, 2001.
[1] Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 12.
[2] Ibid, hal.14.
[3] Visi Media, Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : Visi Media, 2007, hal. 8.
[4] Ibid, hal. 10.
[5] Syaifullah, dkk., Undang-Undang Rumah Tangga No.23 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002, Padang-Sumbar : Praninta Offset, 2008, hal. 49.
[6] Ibid.
[7] Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Jakarta : 2003, hal. 17.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hal. 13.
[10] Syaifullah, dkk., Undang-Undang.., hal. 11.
[11] Ibid, hal.59.
[12] Ibid, hal.44.
[13] R. Soesilo, KUHP dengan Penjelasan, Bogor : Politeia, 1981.
[14] Ibid.
[15] Minstry for Women’s Empowerment Republic of Indonesia and Department of Social Affairs Republic of Indonesia, Republic of Indonesia Law Number 23 Year 2002 on Child Protection, Jakarta : 2003, hal. 23.
[16] Ibid, hal.14.
[17] R. Subekti-R.Tjitrosudibio, Kitab Undnag-Undnag HUkum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Pradnya Paramita, 2001, hal. 55.
[18] Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2001, hal. 213.
[19] Ibid, hal.230.